Uji Sitotoksik Ekstrak
Etanol Kultur Akar Ceplukan (Physalis angulate L.) Yang Ditumbuhkan Pada
Media Murashige-Skoog Terhadap Sel Myeloma
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit
kanker termasuk dalam urutan kedua daftar kelompok penyakit penyebab kematian
(Saffioti, 1997). Jumlah penderita kanker saat ini semakin meningkat, bahkan di
Indonesia menempati urutan keenam sebagai penyebab kematian (Hariani, 2005).
Usaha pengobatan medis yang sering dilakukan seperti pembedahan, radiasi dan pemberian
obat antikanker hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini
antara lain disebabkan oleh rendahnya selektifitas obat antikanker yang
digunakan ataupun karena patogenesis kanker itu sendiri belum jelas benar
(Meiyanto dan Sugiyanto, 1997). Terapi pengobatan kanker yang utama seperti
pembedahan dan radiasi hanya dapat dilakukan pada lokal stadium awal dan gagal
digunakan untuk kanker yang telah berkembang pada stadium lanjut dan sudah
mengalami metastasis (Indrayanto, 1988). Selain itu obat-obat kimia antikanker
dan kemoterapi seringkali menimbulkan efek samping yang sangat tidak
menyenangkan. Akibatnya masyarakat cenderung beralih pada pengobatan alam,
dalam hal ini salah satu tanaman yang banyak diteliti efeknya sebagai
antikanker adalah ceplukan (Physalis angulata L.). Pemanfaatan
ceplukansebagai tanaman obat antikanker sebagian besar masih diekstrak dari
bagian-bagian tertentu yang tumbuh di alam secara liar atau yang telah
dibudidayakan. Cara ini mempunyai banyak kelemahan, diantaranya sangat
dipengaruhi oleh musim, tumbuhan menghasilkan senyawa kimia tertentu setelah
mencapai umur tertentu. Oleh karena itu diperlukan budidaya alternatif untuk
menghasilkan senyawa-senyawa metabolit sekunder dan dapat mengatasi
keterbatasan tersebut (Santoso dan Nursandi, 2004).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian tersebut penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai
berikut: apakah ekstrak etanol kultur akar Physalis angulata L. yang
ditumbuhkan pada media Murashige-Skoog mempunyai efek sitotoksik yang lebih
poten dibandingkan ekstrak etanol tanaman utuhnya terhadap sel Myeloma dan
senyawa kimia apa yang terkandung di dalam ekstrak tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik ekstrak etanol kultur akar
ceplukan (Physalis angulata L.) yang ditumbuhkan pada media
Murashige-Skoog terhadap sel Myeloma dan mengetahui kandungan kimia yang ada di
dalam ekstrak tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
1. Kanker
a) Tinjauan Umum
Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang terjadi karena tumbuh dan
berkembangbiaknya sel-sel baru di dalam tubuh yang bentuk, sifat dan kinetiknya
berbeda dari sel normal asalnya. Sel baru tersebut pertumbuhannya liar,
terlepas dari sistem kendali pertumbuhan normal sehingga merusak bentuk dan
atau fungsi organ yang terkena (Sukardja, 2000).Sel kanker mempunyai keadaan
fisiologi yang berbeda dibandingkan sel normal, sehingga sel kanker dapat
dibedakan dengan sel normal. Secara umum ciri-ciri dari sel kanker antara lain:
(a) memiliki pertumbuhan berlebih umumnya berbentuk tumor (b) bersifat invasif,
mampu tumbuh di jaringan sekitarnya (c) bersifat metastatif, menyebar ke
tempat lain dan menyebabkan pertumbuhan baru (Ganiswara dan Nafrialdi, 1995),
(d) tidak sensitif terhadap signal antiproliferatif, (e) pemacuan angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), (f) mampu menghindari apoptosis (Hanahan and
Weinberg, 2000). Salah satu sistem di dalam tubuh manusia yang mencegah
penyebaran sel kanker adalah apoptosis yang menyebabkan sel bunuh diri.
Apoptosis terjadi apabila DNA sel rusak, atau sel berkembang menjadi tumor,
atau gen P53 yang juga dikenal sebagai gen pencegah kanker, kurang efektif
(Yahya, 2002). Pada sel kanker mekanisme apoptosis ini hilang karena mutasi
pada gen P53
(Hanahan and Weinberg, 2000).
b)
Karsinogen dan Karsinonegesis
Menurut
Sukardja (2000), karsinogen adalah zat atau bahan yang dapat menimbulkan
kanker. Di dalam alam banyak terdapat karsinogen, yang meliputi:
1) Karsinogen kimiawi, seperti aflatoksin, nitrosianin, bahan anorganik seperti
arsen, krom, asbes, peptisida, tir atau jelaga, bahan kimia atau industri.
2) Sinar ionisasi (sinar X atau sinar rontgen dan sinar-UV).
3) Virus DNA, RNA, dan refroid (virus papova, herpes).
4) Hormon (estrogen, testoteron).
Dari studi penyebaran penyakit dan data laboratorium diperkirakan bahwa senyawa
karsinogen yang terdapat dalam lingkungan dan makanan minuman merupakan
penyebab kanker yang terbesar. Sekitar 70-90 % penderita kanker diduga
disebabkan oleh senyawa karsinogen (Mulyadi, 1997). Karsinogenesis adalah suatu
proses perubahan struktur DNA yang bersifat irreversibel, sehingga terjadilah
kanker (Mulyadi, 1997). Kanker dapat terjadi karena ada kerusakan atau
transformasi protoonkogen dan supresor gen sehingga terjadi perubahan dalam
cetakan protein dari yang telah diprogramkan semua yang mengakibatkan timbulnya
sel kanker (Sukardja, 2000).
2. Sel Myeloma
Multiple
Myeloma (MM)
merupakan suatu neoplasma yang ditandai dengan adanya proloferasi sel plasma. Penyakit
ini timbul pada tulang soliter, difus, atau multipel. Gambaran mengenai
penyakit ini menunjukkan adanya destruksi tulang, infiltrasi sel plasma pada
sumsum tulang, hiperproteinemia dan hipergamma (Robianto, 2004). Tumor tumbuh
terutama dalam sumsum tulang dan tulang yang berdekatan, menyebabkan anemia,
sakit tulang, lesi litik, tulang patah, dan juga meningkatkan kerentanan pada
infeksi (Katzung, 1992).Turunan sel Myeloma pertama kali diambil dari Merwin
Plasma Sel Tumor-11 (MPC-11) yang diisolasi dari mencit Balb/c yang diperoleh
dari J. Fahey pada tahun 1967 oleh R. Laskov dan M.D. Scharff. Sel tumor ini
diadaptasikan ke dalam kultur secara terus-menerus sampai enam kali dan
dipelihara dalam flask yang berisi Dulbecco's-Eagle's medium
dengan asam amino non esensial dan 20% serum kuda yang in aktif (Fetal
Bovine Serum) (Anonim, 1983). Sel Myeloma yang akan digunakan harus berada
dalam satu kondisi pertumbuhan yang eksponensial atau dalam pertumbuhan fase
logaritmik. Kondisi ini dapat dicapai bilamana beberapa hari sebelum fusi, tiap
hari dilakukan penggantian medium sambil mengencerkan kepadatan sel dengan
jalan memindahkan ke culture flask yang lebih besar (Mahardika, 2004).
3. Tanaman Ceplukan
a) Morfologi
Tanaman
Ceplukan merupakan herba 1 tahun, tegak, tinggi 0,1-1 m. Bagian yang hijau
berambut pendek atau boleh dikatakan gundul. Batang bentuk persegi tajam,
berongga. Helaian daun bulat telur memanjang bentuk lanset, dengan ujung
runcing, bertepi rata atau tidak, 5-15 x 2,5-10,5 cm. Tangkai bunga tegak
dengan ujung yang mengangguk, langsing, lembayung, 8-23 mm, kemudian tumbuh
sampai 3 cm. Kelopak bercelah 5, berbagi kurang dari separo, dengan taju-taju
bersudut 3, runcing, hijau, dengan rusuk yang lembayung. Mahkota bentuk
lonceng, tinggi 79 mm, kuning muda dengan pangkal hijau, tepian bertekuk 5
tidak dalam, dalam leher dengan noda-noda coklat atau kuning coklat, di bawah
tiap noda terdapat kelompokan rambut-rambut pendek rapat yang berbentuk V.
Tangkai sari kuning pucat, kepala sari seluruhnya biru muda. Putik gundul,
kepala putik bentuk tombol. Kelopak buah yang dewasa menggantung bentuk telur,
panjang 2-4 cm, kuning hijau, berurat lembayung. Buah buni bulat memanjang,
pada waktu masak kuning panjang 14-18 mm, dapat dimakan (Van Steenis, 1997).
b) Klasifikasi Tanaman
Kedudukan tanaman ceplukan dalam sistem tumbuhan diklasifikasikan
sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Subclassis : Sympetalae
Ordo : Tubiflorae (Solanales, Personatae)
Famili : Solanaceae
Genus : Physalis
Species : Physalis angulata Linn.
c) Nama Daerah
Ceplukan juga dikenal dengan nama ceplukan, ceplukan sapi, ceplokan, ciplukan,
ciciplukan, (Jawa); cecendet, cecendetan , cecenet, cicendetan (Sunda);
yoryoran (Madura); kopok-kopokan, padang rase, ciciplukan, angket (Bali); daun
boba (Ambon); daun kopo-kopi, daun loto-loto (Maluku); leletop (Sumatera Timur)
(Heyne, 1987).
d) Kandungan Kimia
Tanaman ceplukan mengandung beberapa macam zat kimia yang bermanfaat dalam
pengobatan. Zat kimia yang terkandung dalam ceplukan adalah saponin, flavonoid,
alkaloid, vitamin C, polifenol, asam kologenat, zat gula, elaidic acid
dan fisalin (Anonima, 2005; Anonimb, 2005). Saponin dan flavonoid ditemukan
pada bagian daun. Kulit buah ceplukan mengandung senyawa C27H44O-H2O. Cairan
buah ceplukan mengandung zat gula. Biji ceplukan mengandung elaidic acid
(Pitojo, 2002), 12-25 % protein, 15-40 % minyak lemak dengan komponen utama
asam palmitat dan asam stearat (10-20 %) (Sudarsono dkk., 2002). Herba ceplukan
mengandung fisalin B, fisalin D, fisalin F, withangulatin A, sedangkan tunas
hasil kultur jaringan tanaman ditemukan flavonoid dan saponin yang mirip dengan
yang terdapat pada tanaman asal (Sudarsono dkk., 2002).
e) Manfaat Tanaman
Kandungan senyawa fisalin F pada herba ceplukan mempunyai efek antitumor
(Anonim, 2003). Selain itu adanya saponin yang memberikan rasa pahit juga
berkhasiat sebagai antitumor dan menghambat pertumbuhan kanker terutama kanker
kolon. Kandungan flavonoid dan polifenol dapat digunakan sebagai antioksidan.
Tanaman ceplukan berkhasiat sebagai analgetik, diuretik, pereda batuk, penetral
racun dan penyakit fungsi kelenjar-kelenjar tubuh (Mangan, 2003). Akar ceplukan
dapat digunakan sebagai obat cacing, antipiretik, dan antidiabetes (Anonimb,
2005).
4. Kultur Jaringan Tanaman (KJT)
Kultur jaringan tanaman adalah teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman
dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas
mikroorganisme (Santoso dan Nursandi, 2004). Sel dan jaringan akan mampu tumbuh
jika kondisinya sesuai, yaitu media, temperatur, dan cahaya (Hendaryono dan
Wijayani, 1994). Dalam bidang farmasi, KJT mempunyai manfaat yang besar yaitu
selain menghasilkan tanaman sumber simplisia yang seragam juga mampu menghasilkan
metabolit sekunder sebagai bahan obat (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Tanaman
tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas
biologi yang beraneka ragam, memiliki potensi yang sangat baik untuk
dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit (Anonim, 2008) Pelaksanaan teknik
KJT didasarkan pada teori sel yang dikemukakan Schleiden-Schwan, di mana setiap
bagian sel dari organisme memiliki sifat totipotensi, yaitu kemampuan
berkembang setiap sel dengan cara regenerasi menjadi organisme utuh bila
dilengkapi dengan kondisi lingkungan yang sesuai (Dodds and Roberts,
1995). Beberapa hal yang harus diperhatikan agar teknik kultur jaringan tanaman
dapat berhasil dengan baik meliputi keadaan media tempat tumbuh, faktor
lingkungan yang mempengaruhinya (kelembaban, temperatur, cahaya). Penanaman
bahan tanaman pada suatu media dengan lingkungan yang tepat akan mempercepat
induksi totipotensi (Santoso dan Nursandi, 2004). Eksplan pada kultur jaringan
tanaman sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu
bagian meristem, misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang dan keping biji
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
E. Landasan Teori
Beberapa
penelitian menyatakan bahwa Physalis angulata L. mengandung suatu senyawa
metabolit sekunder berupa physalin B dan physalin D yang merupakan golongan
steroid. Senyawa tersebut memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker limfosit
dan leukemia (Sombra et al., 2006). Ekstrak etanolik ceplukan mempunyai
efek sitotoksik terhadap sel Myeloma dengan IC50 70,92 µg/ml (Diah, 2007). Kebutuhan senyawa
obat semakin tinggi sementara lahan dan plasma nutfah semakin menyusut, oleh
karena itu diperlukan alternatif pemecahan. Teknik kultur jaringan tanaman
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui teknik ini,
metabolit sekunder yang dihasilkan dalam jaringan tanaman utuh dapat dihasilkan
juga dalam sel-sel yang dipelihara pada medium buatan secara aseptik (Fitriani,
2003). Kandungan senyawa kimia dalam tanaman utuh bervariasi. Senyawa kimia
yang terdapat dalam ceplukan adalah flavonoid, steroid, alkaloid (Sudarsono
dkk., 2002). Melalui teknik kultur jaringan senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan menjadi lebih tinggi dibanding yang berasal dari tanaman aslinya (Hendaryono
dan Wijayani, 1994). Produksi metabolit sekunder dimungkinkan dengan teknik
kultur jaringan tanaman, misalnya kultur akar (Rao and Ravishankar,
2002). Dengan meningkatnya produksi metabolit sekunder diharapkan juga dapat
meningkatkan efek sitotoksiknya.
F. Hipotesis
Berdasarkan
landasan teori di atas, maka didapatkan suatu hipotesis yaitu : ekstrak etanol
kultur akar ceplukan (Physalis angulata L.) yang ditumbuhkan pada media
Murashige-Skoog mempunyai efek sitotoksik terhadap sel Myeloma.
DIKATAKAN SEBAGAI METODE ILMIAH KARENA MEMILIKI :
· Judul :
Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Kultur Akar Ceplukan (Physalis angulate L.)
Yang Ditumbuhkan Pada Media Murashige-Skoog Terhadap Sel Myeloma
· Rumusan Masalah : Apakah ekstrak etanol kultur akar Ceplukan
(Physalis angulata L.) yang ditumbuhkan pada media Murashige-Skoog
mempunyai efek sitotoksik yang lebih poten dibandingkan ekstrak etanol tanaman
utuhnya terhadap sel Myeloma ?
· Variabel Bebas : Ekstrak Etanol Kultur Akar Ceplukan (Physalis
angulate L.)
· Variabel Terikat : Sel Myeloma
· Variabel Kontrol : Air, tanah, cahaya, temperatur, kelembapan, udara
dan media Murashige-Skoog
· Hipotesis Alternatif : Ada Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Kultur Akar
Ceplukan (Physalis angulate L.) Yang Ditumbuhkan Pada Media
Murashige-Skoog Terhadap Sel Myeloma
· Hipotesis Nol : Tidak Ada Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Kultur Akar
Ceplukan (Physalis angulate L.) Yang Ditumbuhkan Pada Media
Murashige-Skoog Terhadap Sel Myeloma
· Kesimpulan : HA (Hipotesis alternatif) diterima sedangkan HO
(Hipotesis nol) ditolak
SUMBER : http://05mei1995.blogspot.com/2011/10/contoh-metode-ilmiah-beserta.html