Minggu, 22 April 2012

CONTOH KASUS KETAHANAN NASIONAL


PAPUA MERDEKA

Isu  tentang  referendum Papua mencuat kembali.Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Jayapura dan Manokwari awal Agustus lalu. Mereka mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan referendum di tanah Papua.Massa yang turun ke jalan-jalan di papua mereka merupakan gabungan dari tiga kelompok organisasi yaitu Pergerakan Papua Merdeka atau West Papua National Autority (WPNA), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Dewan Adat Papua (DAP).
Aksi ini sekaligus mendukung konferensi Papua merdeka yang digelar di Fast School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford, London, Inggris pada Selasa (2/8). Temanya: "West Papua, The Road to Freedom" Konferensi ini diselenggarakan oleh International lawyers for West Papua (ILWP). Pembicaranya antara lain: John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku Autonomy of Betrayal, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday, mereka menggugat keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Mereka menganggap asal muasal landasan bersatunya Papua dengan Indonesia cacat dan tidak sah berdasarkan hukum internasional. Sayangnya, konferensi ini tak mengundang warga Papua yang pro terhadap Pepera itu sendiri.
Dua hari setelah kejadian, ada penembakan dan penyerangan warga sipil di Nafri, Abepura, Papua. Empat orang tewas. Belakangan, kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Danny Kogoya mengaku bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Polisi dan TNI dengan kekuatan 300 personel berhasil menemukan markas Danny, namun komplotan tersebut telah lari. Di tempat itu ditemukan dokumen Papua merdeka dan bendera Bintang Kejora.
Hampir dalam waktu bersamaan, kelompok yang menamakan dirinya Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM, pimpinan Goliat Tabuni mengklaim telah menyerang helikopter TNI di Puncak Jaya. Serangan ini menewaskan seorang anggota TNl dan melukai tujuh orang lainnya.
Pengakuan itu disampaikan Goliat Tabuni di markasnya di Tinggi Nambut, Papua Barat. Di sekeliling markasnya itu dikibarkan bendera beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Bintang Kejora serta bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan bendera Merah Putih yang sebelumnya berkibar, diturunkan, lalu dibakar. Ia menegaskan, penembakan itu merupakan wujud perlawanan mereka terhadap NKRI. Mereka akan terus melawan hingga Papua merdeka terwujud.
Tuntutan referendum Papua tak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat Papua yang miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010, menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan, miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai 83,04 persen atau 482.184 rumah tangga. Mereka belum terurus secara layak.
Kondisi ini sangat kontras dengan dana yang dikucurkan pemerintah dalam Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang nilainya mencapai lebih dari Rp 30 trilyun. Dana Otsus itu dikucurkan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan bulan April 2011 menemukan adanya dugaan penyelewengan Dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 trilyun. Dana sebesar itu dipertanyakan karena parkir dan tidak diketahui jelas pemanfaatannya dan didepositokan di beberapa bank nasional dan daerah. Namun, Kepala BPKAD Papua Achmad Hatari menyatakan, semua telah sesuai prosedur.
Selain masalah ekonomi, Papua juga menghadapi masalah keamanan. Pelaksana Ketua Majelis Rakyat Papua, Joram Wambrau, seperti dikutip BBC, situasi di beberapa lokasi kekerasan menunjukkan terjadinya krisis kendali keamanan.Hingga kini, aparat keamanan belum berhasil menguasai pemberontak yang menamakan dirinya OPM. Mereka terus melakukan teror. Banyak korban tewas.
Tuntutan kemerdekaan Papua didukung oleh pihak-pihak asing termasuk aktivis gereja. Salah satunya uskup. Menguatnya kembali isu Papua merdeka tak bisa dilepaskan dari peran asing di sana. Sebuah dokumen rahasia yang dibuat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat bocor ke media Australia dan dimuat di kelompok surat kabar Fairfax, Sabtu 03/8). Dokumen tersebut memaparkan detail ancaman gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka.
Papua adalah pulau emas. Di sana ada tambang emas terbesar di dunia. PT Freeport Indonesia, perusahaan Amerika sejak 1960 sudah bercokol di sana. Keberadaannya sejak awal menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat, menyangkut tanah adat dan pencemaran lingkungan. Upaya Freeport memberikan 1 persen keuntungannya kepada masyarakat sekitar pun, sejak 1996, menimbulkan masalah baru, konflik horisontal antar suku.
Masalah HAM juga sering terjadi di areal pertambangan. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaan. Sementara itu, keuntungan yang didapatkan Freeport bukannya mengalir ke negara apalagi ke rakyat Papua. Laba yang jumlahnya trilyunan itu lari ke Amerika. Indonesia hanya mendapatkan bagian sangat kecil berupa royalti dan pajak yang tak seberapa. Data tahun 2010, yang didapatkan Indonesia hanya sekitar Rp 10 trilyun. Makanya, Amerika ingin terus mempertahankan daerah kaya emas ini, yang kandungannya diketahui sekitar 2,16 - 2,5 miliar ton. Itu belum termasuk kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih.
Namun apa yang didapatkan oleh warga Papua????? Mereka hanya menjadi korban ditengah wilayah yang kaya, hal ini bisa dilihat dari masyarakat papua yang masih jauh dari kata sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar