PAPUA MERDEKA
Isu tentang referendum Papua mencuat kembali.Ribuan orang
turun ke jalan-jalan di Jayapura dan Manokwari awal Agustus lalu. Mereka
mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan referendum di tanah Papua.Massa
yang turun ke jalan-jalan di papua mereka merupakan gabungan dari tiga kelompok
organisasi yaitu Pergerakan Papua Merdeka atau West Papua National Autority
(WPNA), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Dewan Adat Papua (DAP).
Aksi ini sekaligus mendukung konferensi Papua merdeka yang
digelar di Fast School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford,
London, Inggris pada Selasa (2/8). Temanya: "West Papua, The Road to
Freedom" Konferensi ini diselenggarakan oleh International lawyers for
West Papua (ILWP). Pembicaranya antara lain: John Saltford, akademisi Inggris
pengarang buku Autonomy of Betrayal, Benny Wenda pemimpin FWPC yang
tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan
Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk
Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday, mereka menggugat
keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Mereka menganggap asal
muasal landasan bersatunya Papua dengan Indonesia cacat dan tidak sah berdasarkan
hukum internasional. Sayangnya, konferensi ini tak mengundang warga Papua yang
pro terhadap Pepera itu sendiri.
Dua hari setelah kejadian, ada penembakan dan penyerangan warga
sipil di Nafri, Abepura, Papua. Empat orang tewas. Belakangan, kelompok
Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Danny Kogoya mengaku bertanggung jawab
atas kejadian tersebut. Polisi dan TNI dengan kekuatan 300 personel berhasil
menemukan markas Danny, namun komplotan tersebut telah lari. Di tempat itu
ditemukan dokumen Papua merdeka dan bendera Bintang Kejora.
Hampir dalam waktu bersamaan, kelompok yang menamakan dirinya
Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM, pimpinan Goliat Tabuni mengklaim telah
menyerang helikopter TNI di Puncak Jaya. Serangan ini menewaskan seorang
anggota TNl dan melukai tujuh orang lainnya.
Pengakuan itu disampaikan Goliat Tabuni di markasnya di Tinggi
Nambut, Papua Barat. Di sekeliling markasnya itu dikibarkan bendera beberapa
negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Bintang Kejora serta bendera
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan bendera Merah Putih yang sebelumnya
berkibar, diturunkan, lalu dibakar. Ia menegaskan, penembakan itu merupakan
wujud perlawanan mereka terhadap NKRI. Mereka akan terus melawan hingga Papua
merdeka terwujud.
Tuntutan referendum Papua tak bisa dilepaskan dari kondisi
masyarakat Papua yang miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010,
menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan,
miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai
83,04 persen atau 482.184 rumah tangga. Mereka belum terurus secara layak.
Kondisi ini sangat kontras dengan dana yang dikucurkan
pemerintah dalam Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang nilainya mencapai lebih dari
Rp 30 trilyun. Dana Otsus itu dikucurkan untuk mendorong pembangunan
infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat.Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) pada pertengahan bulan April 2011 menemukan adanya dugaan penyelewengan
Dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 trilyun. Dana sebesar itu dipertanyakan karena
parkir dan tidak diketahui jelas pemanfaatannya dan didepositokan di beberapa
bank nasional dan daerah. Namun, Kepala BPKAD Papua Achmad Hatari menyatakan,
semua telah sesuai prosedur.
Selain masalah ekonomi, Papua juga menghadapi masalah keamanan.
Pelaksana Ketua Majelis Rakyat Papua, Joram Wambrau, seperti dikutip BBC,
situasi di beberapa lokasi kekerasan menunjukkan terjadinya krisis kendali
keamanan.Hingga kini, aparat keamanan belum berhasil menguasai pemberontak yang
menamakan dirinya OPM. Mereka terus melakukan teror. Banyak korban tewas.
Tuntutan kemerdekaan Papua didukung oleh pihak-pihak asing
termasuk aktivis gereja. Salah satunya uskup. Menguatnya kembali isu Papua
merdeka tak bisa dilepaskan dari peran asing di sana. Sebuah dokumen rahasia
yang dibuat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat bocor ke media
Australia dan dimuat di kelompok surat kabar Fairfax, Sabtu 03/8). Dokumen
tersebut memaparkan detail ancaman gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka.
Papua adalah pulau emas. Di sana ada tambang emas terbesar di
dunia. PT Freeport Indonesia, perusahaan Amerika sejak 1960 sudah bercokol di
sana. Keberadaannya sejak awal menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat,
menyangkut tanah adat dan pencemaran lingkungan. Upaya Freeport memberikan 1
persen keuntungannya kepada masyarakat sekitar pun, sejak 1996, menimbulkan
masalah baru, konflik horisontal antar suku.
Masalah HAM juga sering terjadi di areal pertambangan. Banyak
kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport ditengarai
dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaan. Sementara itu,
keuntungan yang didapatkan Freeport bukannya mengalir ke negara apalagi ke
rakyat Papua. Laba yang jumlahnya trilyunan itu lari ke Amerika. Indonesia
hanya mendapatkan bagian sangat kecil berupa royalti dan pajak yang tak
seberapa. Data tahun 2010, yang didapatkan Indonesia hanya sekitar Rp 10
trilyun. Makanya, Amerika ingin terus mempertahankan daerah kaya emas ini, yang
kandungannya diketahui sekitar 2,16 - 2,5 miliar ton. Itu belum termasuk
kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih.
Namun apa yang didapatkan oleh warga Papua????? Mereka hanya
menjadi korban ditengah wilayah yang kaya, hal ini bisa dilihat dari masyarakat
papua yang masih jauh dari kata sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar